Pada saat itu hari minggu di kota Padang saya bangun pagi dan sedikit bingung antara mau kemana atau mau ngapain. Setelah akhirnya dapat juga kendaraan pinjaman untuk jalan- jalan saya memutuskan untuk eksplore Bukit Tinggi yang dulu pernah tertunda. Sebelumnya hari jumat dan sabtu saya beserta rombongan team BMG Padang berkunjung ke Payakumbuh untuk menghadiri acara pernikahan sodara kami Bang Anggry. Selama di Payakumbuh pun kami juga sempat mampir ke beberapa tempat wisata. Karena waktu yang tidak memungkinkan kami pergi ke pemandian mata air alamai batang tobik, kemudian numpang lewat Padang Mangateh atau New Zeland nya Sumatera Barat, Lembah Harau dan terakhir mampir ke Kapalo Banda.
Anggap aja sebagai mukodimah sebelum masuk cerita Bukit Tinggi saya akan ceritakan sedikit tentang Payakumbuh dan Lembah Harau. Payakumbuh, ya sebelumnya saya juga sudah pernah mengunjunginya. Payakumbuh daerah di Sumatera Barat yang banyak berdiri perbukitan yang sebagian besar bentuknya bulat. Selain banyaknya bukit juga saat masih pagi udara di Payakumbuh ini adem dan segar. Masih banyak pepohonan yang hijau dan rindang. Di Payakumbuh juga ada beberapa wisata alam yang baru saja booming dan menjadi destinasi favorit warga sekitar. Saya sendiri sempat berkunjung ke Padang Mangateh atau warga sekitar menyebutnya sebagai New Zeland nya Sumatera Barat. Padang Mangateh ini adalah padang rumput yang sangat luas dengan kontur tanahnya agak menanjak dan di atasnya di gembalakan ratusan ekor sapi. Memang paduan yang pas ketika padang rumput yang luas lagi hijau dengan beberapa ekor sapi sedang menikmati rerumputan sudah layaknya sedang di New Zeland. Udara yang berhembus pun juga segar dan dingin meskipun terik matahari cukup menyengat. Sejauh mata memandang yang ada adalah hijau dan hijau maka tak heran jika mata seolah di manjakan dan adem menikmatinya. Kemudian agak keluar dari Payakumbuh saya di temani bang dayu, zul, pak roni, rino dan pak epi menuju Lembah Harau. Ngomongin Lembah Harau ini hemmm gimana ya? keren sih keren banget apalagi di nikmati dengan mata telanjang. Ketika baru masuk kami seolah memasuki himpitan tebing yang berdiri menjulang tinggi. Lembah Harau ini memang sudah lama di konsep untuk kawasan pariwisata. Sudah banyak homestay dan resort keren yang bisa di gunakan untuk menginap atau sekedar berfoto ria. Saya kesusahan untuk mendeskripsikannya tapi yang jelas Lembah Harau keren. Dari Lembah Harau kami kemudian melanjutkan ke Kapalo Banda Taram yang tak jauh dari Lembah Harau. Dengan mengendarai kendaraan roda 4 kami tempuh perjalanan selama 45 menit. Setibanya di Kapalo Banda saya di suguhkan oleh sebuah sungai yang besar yang dimanfaatkan warga sekitar untuk refreshing. Ternyata Kapalo Banda ini adalah sebuah hulu sungai yang di kelilingi oleh beberapa bukit. Airnya bening dan dingin serta udara sekitarnya pun juga adem. Masih banyak tumbuh pepohan yang rindang menghijaukan lingkungan Kapalo Banda. Yang menarik disini adalah banyak anak kecil dari kampung sekitar sedang mandi sambil bermain- main di atas rakit. Jika kamu main kesini dan ingin menikmati sensasi naik rakit sambil bercanda dengan temanmu sangat boleh di coba. Untuk hunting foto juga banyak spot dan objek yang bagus yang bisa di ambil. Ya begitulah kira-kira mukodimah sebelum masuk ke Bukit Tinggi.
Minggu pagi dengan minim aktifitas di basecamp atau kantor cabang Padang. Antara pergi atau tidak saya dalam kegalauan. Setelah ngobrol dengan Zul dan akhirnya saya pinjam mobil Avanza pak Roni berangkatlah saya menuju Bukit Tinggi dan sekitarnya. Bermodalkan GPS map saya ikuti saja dan terus melaju menuju Bukit Tinggi melewati simpang Teluk Bayur kemudian air terjun Lembah Anai, Padang Panjang dan tiba lah di Bukit Tinggi. Jalanan saat itu memang ramai dan beberapa titik terjadi kemacetan. Ya memang hari minggu wajar jika banyak orang yang bepergian untuk mencari hiburan.
Destinasi pertama yang berhasil saya kunjungi adalah Panorama Ngarai Sianok yaitu tempat di tepian tebing untuk melihat Ngarai Sianok dari atas. Selain pemandangan ngarai yang indah juga ada lubang Jepang alias Goa Jepang. Pagi itu pengunjung cukup ramai mulai dari remaja, anak- anak kecil beserta kedua orang tuanya juga pasangan- pasangan muda yang sedang memadu kasih. Saya? ya saya sih datang sendiri karena memang tidak ada teman yang bisa saya ajak keliling Bukit Tinggi. Buat saya tidak ada yang terlalu spesial sehingga memaksa saya harus berlama- lama di panorama Ngarai Sianok. Sekalian shalat dzuhur di jamak dengan ashar kemudian saya pindah ke destinasi berikutnya yaitu gak sengaja lewat sebuah tikungan dan membaca penunjuk ” great wall “. Di Great Wall saya parkir mobil di tepi jalan raya dekat pintu masuk dan memang itu di sediakan tempat untuk parkir. Parkiran menuju pintu masuk tak jauh langsung saja masuk dan berjalan agak ke dalam barulah bertemu seorang kakek sedang menjada semacam kotak sumbangan yang katanya ” seikhlasnya saja nak untuk dana kebersihan “. Di depan mata sebenernya ada semacam rumah inyiak gak tau itu hotel atau resort atau semacam cafe saya lewati saja dan lanjt ke arah saribu janjang. Lewat tepian sungai dan warung kemudian menyebrang melintasi sebuah jembatan goyang. Setelah lewat jembatan goyang ada lagi kotak sumbangan yang katanya masih sama ” untuk dana kebersihan bang 5000 “. Saribu janjang ini terbilang sepi dari pengunjung entah karena hari minggu atau apa saya kurang paham. Sebentar menaiki janjang saya bertemu sepasang muda-mudi sedang duduk berdua sambil ngobrol, cewenya sih imut cantik gtu cowonya biasa aja saya justru kasihan sama cewenya kalau sampai di apa- apain. Sebenernya kalau boleh jujur saribu janjang ini juga bagus sih tapi menurut saya kurang panjang trek nya dan kurang ada bangunan yang memperindah. Oiya sesudah sampai di janjang paling atas saya mendapati sederet warung dan di belakangnya ada pemandangan jurang dari sisi lain di balik panorama Ngarai Sianok yang sebelumnya saya kunjungi. Jurang atau ngarai di lihat dari puncak saribu janjang juga bagus, apalagi saat saya di sana sedang sepi jadi spot buat ngambil foto pun bebas mau dimana saja.
Cukup puas olah raga di saribu janjang saya lanjut menuju Taruko Caffe sesuai saran temen saya Hafiz. Dari Saribu janjang tak jauh kira- kira 15 menit saya sudah sampai di Taruko Caffe. Jadi Taruko caffe ini sengaja di bangun di dasar Lembah karena memang selain berjualan makan dan minuman juga menjual pemandangan yang indah. Yang menjadi ikon di Taruko caffe adalah sebuah batu atau bukit besar di depannya. Untuk kopi lokal yang saya pesan rasanya juga enak, ya bisa di bilang gak rugi jauh- jauh dari Padang sendirian ke Ngarai hanya untuk menyeruput kopi. Taruko ini karena sudah terkenal tempatnya jadi rame banget apalagi pasangan muda mudi yang masih anget- angetnya pacaran. Saya tak lama menikmati kopi hitam sambil mengambil foto di beberapa spot kemudian lanjut lagi ke tujuan selanjutnya.
Karena kamu request cerita tentang perjalanan kita kemaren di Sumatera Utara segera di tulis maka baiklah aku duluin aja dari cerita perjalanan lainnya. Mulai dari mana ya? dari kenapa bisa di bilang tiba- tiba aku kabur ke Medan. Sesungguhnya list ke area Sumatera adalah paling belakangan setelah aku selesai dengan misi Timur. Sudah sekitar 3 bulanan aku menjalin komunikasi lagi denganmu. Kamu itu cantik tapi judes juga dan ketika memandang sorot matamu tak pernah bisa teduh. Sebenernya dulu sudah kenal namun hanya sekedar antara Asisten dan Praktikan di Laboratorium sebuah kampus. Setelah aku lulus pun semakin tak pernah ada komunikasi dan karena bisa di bilang aku segan samamu maka tak pernah berani untuk menyapa atau sekedar berkata “hai”. Entah ada pikiran darimana tiba- tiba datang sebuah tekad bulat untuk pergi ke Sumatera Utara. Akhirnya dapat waktu setelah hari raya Iedul Fitri tanpa pikir panjang setelah gajian aku pesan tiket pesawat jurusan Surabaya- Kualanamu Medan. Apakah ijin dari kantor bakal di approve atau tidak pun aku nekad saja. Dengan mantap hati nekat lah ijin ke Pak Bos ” pak kulo tanggal 29-30 ijin nggeh pak ?”, di sahutnya ” di atur sajalah yang penting jangan sampe lost komunikasi sama team “. Alhamdulillah ijin sudah approve, eh lakok seminggu sebelum berangkat malah ada undangan meeting ke Banyyuwangi. Entahlah pikiran sudah mulai amburadul namun tetap terus menenangkan diri ” woles thur kalem semua tetap berjalan lancar”. Rabu siang aku dan Pak Nur partner terbaikku menghadiri meeting salah satu operator terbesar di Indonesia. Rabu sore pun kami tak langsung balik Tuban karena sudah terlanjur jauh kenapa tidak mampir? baiklah akhirnya kami mampir ke kawah Ijen, kawah Wurung dan Bromo. Akhir trip bablasan meeting adalah Bromo yaitu hari Jumat siang.
Nah Ini Pak Nur
Tiba di bandara Juanda Surabaya setelah menempuh perjalanan dari Probolinggo selama 3 jam disambut oleh senja. Sambil ngopi sebentar Pak Nur dan Budi menemani sambil ngaso sebelum mereka berdua balik Tuban dan aku lanjut ke Medan. Malam semakin larut perut lapar badan pun letih. Setelah kenyang mengisi perut dengan makanan cepat saji aku segera mencari tempat untuk tidur karena esok paginya jam 04:00 sudah harus cek in. Alhamdulilah cek in lancar (soalnya sempat ada masalah si singa terbang berulah lagi) trus ke ruang tunggu sekalian nunggu masuk waktu subuh. Jam 05:30 kami para penumpang sudah di suruh memasuki pesawat dan tanpa delay pesawat di terbangkan jam 06:xx.
Sunrise Bandara Juanda
Penerbangan Surabaya- Medan lancar di tempuh selama 3 jam. Dari atas pesawat terlihat perbukitan dan berganti dengan sebuah danau besar terdapat sebuah pulau di tengahnya. Danau Toba dan pulau Samosir, ya tandanya penerbangan kami sudah dekat dengan bandara Kualanamu Medan. Tiba di bandara jam 09:00 sesuai saran kamu untuk naik Damri jurusan carefour Medan. Hemmm semakin gak menentu gelisah campur entahlah apa naamanya bis nya pun merayap pelan- pelan yang kemudian di tambah macet ketika sudah masuk kota Medan. Aku gak yakin bisa woles dan suasana mencair santai. Akhirnya ketemu juga denganmu setelah 6 tahun lamanya tak pernah jumpa. Dengan kerudung dan baju berwarna pink wajah di usap bedak tipis dan bibir kamu warnai pink namun sorot matamu tak berubah. Awal pertemuan kamu buka dengan sapaan ” hai kak” aku cuma bisa membalas dengan senyum, karena ya memang terasa kaku dan aku pun orangnya pemalu. Sambil berjalan ke parkiran kereta aku dan kamu mulai bisa ngobrol santai suasana pun mulai mencair kayak eskrim yang kelamaan gak di makan, eh enggak bercanda dink.
” Eka jadi kita kemana saja hari ini? ”
” kakak gak lapar? mending kakak makan dulu aja ” sahut mu
Siang itu Medan benar- benar sangat panas sampai- sampai baju ku basah kuyup oleh keringat. Mampir sebentar di Pom bensin karena pikirku jam 12:00 sudah masuk waktu shalatt dzuhur, Medan waktu dzuhur nya jam 12:30 an bung. Akhirnya setelah numpang ke toilet pom bensin aku dan kamu lanjut menuju Berastagi destinasi pertama. Memang agak konyol karena aku dan kamu sama- sama tidak tau arah, yasudah ngikutin plang petunjuk arah dan feeling saja lah ya. Medan Berastagi dapat ditempuh selama 2 jam perjalanan dengan model riding santai. Ketika sebelum masuk Berastagi kami melalui jalanan menanjak bekelok yang lebih mirip dengan jalur sitinjau lauik nya Sumatera Barat. Jalan meliuk- liuk menanjak memaksa mesin motor kamu terus melaju pelan. Dan saat sedang berjalan perlan di ikuti seorang polisi yang semakin membuatku cemas dan curiga. Di sebuah jalan lurus cukup untuk menghentikan aku dan kamu, ” Hei coba minggir dulu “, kata Pak Polisi. Setelah di cek ternyata karena plat nomor motor kamu belum di ganti padahal sudah expired masa berlakunya. Setelah di berikan penjelasan kenapa plat nomor motor belum di ganti akhirnya aku dan kamu di kasih lanjut jalan lagi oleh pak polisi. Jalanan datar beganti menanjak, Macet berganti lenggang, Panas berganti sejuk ternyata memang sudah masuk kawasan Berastagi. Destinasi pertama adalah taman Lumbini, sebuah taman yang dibangun untuk beribadah umat pemeluk agama Budha. Vihara terbesar di Indonesia sekaligus Asia Tenggara. Bangunan Vihara dengan dominan warna Emas dan warna bangunan sekitarnya abu- abu karena di hujani oleh abu vulkanik gunung Sinabung. Tak lama aku dan kamu jalan- jalan di taman Lumbini sekedar mengambil foto kemudian lanjut lagi ke destinasi berikutnya.
Taman Lumbini
Konon katanya puncak bukit Gundaling menjadi primadona wisata di Berastagi. Terlihat cukup jelas menjulang tinggi nan gagah gunung Sinabung dari puncak Gundaling. Sore itu tak terlalu ramai pengunjung yang menikmati sejuknya bukit Gundaling. Sebagian besar memang sengaja datang untuk bisa berfoto bersama gunung Sinabung, termasuk aku dan kamu. Sambil istirahat menunggu datangnya senja aku dan kamu duduk di bawah tenda milik ibu penjual minuman yang rupanya berasal dari banyumas. Sewaktu mesan minum aku kaget kok si Ibu menyahut dengan bahasa jawa, oh rupanya Ibu orang Banyumas. Ngobrol santai membahas tentang budaya Batak sambil menikmati deretan awan bergulung yang mulai berubah menjadi mendung. Senja mulai memberi harapan akan datangnya sunset yang menggelora. Terik matahari semakin redup berbarengan dengan datangnya hembusan angin yang semakin kencang. Waktu menunjukkan jam 17:50 namun langit justru semakin menghitam awan yang tadinya berderet bergulung cantik pun berubah menjadi mendung kelabu. Ternyata sungguh benar sunset tak jadi hadir menyambut kedatanganku jauh jauh dari pulau Jawa. Karena esok hari masih harus mendaki puncak Gunung Sibayak aku dan kamu harus segera istirahat agar tidak kesiangan bangun.
Berastagi di hujani Abu Vulkanik
Gunung Sinabung Dari Puncak Gundaling
Gunung Sibayak dengan ketinggian 2.212 mdpl letaknya berdekatan dengan gunung Sinabung yang sedang erupsi. Meskipun tidak terlalu tinggi saat malam hingga pagi udara pun sangat dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 03:00 ini saatnya aku dan kamu bersiap mendaki untuk melihat sunrise. Jam 04:00 aku dan kamu yang kemudian aku ganti “kita” agar lebih enak nulis dan di bacanya sudah berangkat menuju Gunung Sibayak. Tak lama dari pusat kota Berastagi kira- kira 30 menit dengan kereta kita sudah tiba di parkiran gunung Sibayak. Sebelum mendaki jangan lupa ada membayar retribusi Rp 3000 dan biaya masuk Rp 10.000.
Pendakian di mulai, dengan ketinggian 2.212 mdpl tipikal jalur sedikit terus menanjak waktu tempuh pun sangat singkat. Dari parkiran hingga puncak 1 tidak sampai 1 jam sudah sampai ( sepertinya ada 4 puncak ). Kita memang tidak camping karena hanya ingin melihat sunrise dan gunung Sinabung dari puncak Sibayak. Lapisan mendung pagi itu sepertinya sangat tebal waktu sudah menunjukkan jam 05:30 pun semburat merah kurang terlihat terang. Memang betul sunrise tidak pecah dengan sempurna namun keindahan pemandangan yang di berikan oleh Sibayak tetaplah mempesona. Aku tau matahari malu untuk tersenyum kepadaku karena sudah ada yang tersenyum sungguh manis menggantikannya. Melihatmu ceria bahagia menikmat keindahan Sibayak rasanya sungguh luar biasa. Emmm nanti cerita agak panjang tentang pendakian Sibayak aku tulis saja sendiri, jadi sering sering mantau Blog aku ini.
Parkir Kereta
Puncak Sibayak
Puncak Sibayak
Destinasi lain masih banyak yang menanti, setelah turun dari Sibayak kita lanjut menuju air terjun Spiso- piso. Berastagi- Kabanjahe- Tongging, kalau dari Berastagi sampai e Spiso- piso cuma memerlukan waktu selama 60 menit riding di kecepatan 60-70 kpj. Selepas Kabanjahe memasuki Tongging banyak kebun buah jeruk yang menawarkan wisata petik sendiri. Hemmm masyarakat mulai kreatif dalam menjual hasil perkebunan mereka, mulai dari strowbery petik sendiri, Apel petik sendiri, jeruk petik sendiri dan mungkin di susul buah yang lainnya. Riding di dataran tinggi itu enaknya tak begitu terasa panas, ya karena angin yang berhembus dingin meskipun terik matahari sangat panas. Udara sejuk serta pemandangan hijau bagaikan permadani menemani sepanjang jalur Berastagi – Tongging. Sebelum tiba di pintu masuk loket wisata air terjun Spiso- piso kita di sambut pemandangan mempesona danau Toba dari atas bukit. Lipatan perbukitan gundul terhampar diatas perairan jadi mengingatkanku akan keindahan Labuhan Bajo NTT. Karena memang bagus pemandangan kita pun berhenti sebentar berfoto- foto. Turun sedikit dari tempat kita istirahat sudah berdiri bangunan loket masuk wisata air terjun Spiso- piso. Ohhh anak tangga turun untuk melihat air terjun dari dekat sungguh panjang mengular. Santai sambil menikmati pemandangan sekitar air terjun kita turun menuju bawah air terjun. Tak jauh kita berjalan sambil istirahat aku merekam timelapse air terjun tak disangka seorang kawan kuliah sewaktu D3 di kampus putih biru menyapa ku. ” Oi fathur… sama siapa kesini??? “, rupanya Fajar Sidiq teman sekampus. Sebentar Fajar bercerita kalau sebaiknya aku ambil rute Simarjarunjung- Tigarasa- Samosir dan kembali ke Medan soalnya sayang jauh- jauh ke Sumatera Utara kalau gak sekalian ke Samosir. Akhirnya sebelum Fajar pulang dan aku melanjutkan turun ke air terjun kami berfoto sebagai kenang- kenangan. Baiklah lanjut lagi turun ke air terjun sama kamu, dan rupanya baru sepertiga pejalanan. Pelan sambil menikmati dan berfoto agar tidak terasa capeknya. Dan sesampainya di bawah air terjun pun kami tak mendekat karena bias air sungguh besar sudah pasti basah jika terlalu dekat. Setidaknya sudah cukup berfoto secekrek dua cekrek kami kemudian kembali naik ke atas. Turun ke bawah air terjun kemudian naik lagi kukira 1.5 jam sudah cukup.
Sebelum Loket
Spiso- piso dari atas
Spiso- piso
Capek ya dari air terjun Spiso- piso? iya memang capek cukup jauh rupanya tangga turun dan naik. Padahal masih ada Simarjarunjung dan Samosir, Okelah waktu masih menunjukkan jam 13:00 kami segera cepat- cepat menuju bukit indah Simarjarunjung. Bukit indah Simarjarunjung salah satu konsep wisata baru yang sedang terkenal di Sumatera Utara. Dengan wahana- wahana foto seperti Kalibiru Kulonprogo yang sudah lama duluan mengaplikasikan. Dengan background danau Toba dan pulau Samosir bukit indah pun tak kalah keren dan fenomenal. Bagus gak sih Simarjarunjung? menurutku bagus karena memang pemandangannya bagus banget. Tapi kalau aku di suruh foto di wahana sih gak juga gak papa. Wahana foto di Simarjarunjung ada banyak sampai aku gak sempat hitung. Bagi yang sedang suka konsep foto kekinian cocok banget datang ke Simarjarunjung. Jadi pas di sana Eka minta difoto di ayunan ekstrim. Ayunan itu di ayun ke arah danau Toba dan kemudian cekrek- cekrek beberapa foto diambil, hemmm hasilnya memang bagus seolah Eka sedang berayun di atas danau Toba. Trus setelah itu? ya setelah itu kami lanjut lagi menyebrang ke pulau Samosir. Dan tanpa sengaja kami justru mengikuti saran Fajar bahwa mendingan nyebrang ke Samosir lewat Tigarasa.
Bukit Indah Simarjarunjung
Wahana Ayunan Ekstrim
Yang sudah pernah nyebrang ke kepulauan seribu pasti tau model perahunya seperti apa, nah kalau di danau Toba ini perahunya berbeda. Jika di lihat sepintas justru bentuknya menyerupai Elf atau Bus mikro. Di bagian depan tertulis ” Laut Tawar ” dan karena bentuknya seperti Bis aku sebut saja ” Bis Laut tawar “. Sambil menyebrangi danau Toba senja berganti malam, kupikir karena hanya danau ombaknya pun tidak besar. Rupanya kondisi bercerita lain ketika sampai di tengah- tengah ombak terasa begitu mengombang- ambingkan Bis laut tawar kami. Tiba di Simanindo Samosir hari telah gelap langsung saja kita menuju Tuk- Tuk Ambarita untuk menginap semalam. Tuk- tuk ini kalau di bali semacam kawasan Kuta Seminyak nya. Pusat Keramaian Samosir bisa di bilang di Tuk- tuk ini dan Tomok. Karena alasan waktu kita gak sempat mampir ke Tomok, esok paginya pun langsung tancap gas menuju bukit Holbung.
Simanindo
Bukit Holbung, ketika melihat di Map jaraknya tak terlalu jauh dari Tuk-tuk. Estimasi sesuai google map menunjukkan 2 jam lebih sedikit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Pagi hari jalanan lengang serta masih jauh dari gaduh kendaraan. Udara dingin membangunkan ku dari kantuk berat. Semburat merah matahari pagi memberikan sedikit penerangan perjalanan kita menuju bukit Holbung. Jalanan sepi kemudian mulai berganti ramai anak Sekolah Dasar berjalan kaki menuju sekolah mereka. Dan lima menit kemudian sudah semakin ramai angkotan samosir mengangkut anak anak Sekolah Menengah Pertama dan Atas menuju sekolah masing- masing. Menyusuri jalanan di tepi danau Toba dan sudah 2 jam lamanya kita berkendara namun baru tiba di jembatan penyebrangan Samosir dengan Sumatera. Ada yang pernah ke Sumba? nah ketika memasuki jalur darat Samosir – Sumatera aku serasa di ingatan oleh Sumba pulau Seribu Bukit. Di Sumba kan kalau pas mau ke Wairinding melewati diantara lipatan ribuan bukit, nah di Samosir ini juga mirip bahkan khas bukit gundul di tumbuhi rumput tipis yang mulai mengering berwarna coklat ke orange pun sama. Selama perjalanan mata ku terus di manjakan oleh pemandangan yang Ahhh sudahlah aku bingung mau menjelaskannya. Pokoknya suka banget sama Samosir dan sekitarnya, bahkan orangnya pun juga ramah- ramah. Saking terpesonanya oleh keindahan alam di jalur ini kita sampai nyasar kebablasan dan terpaksa putar balik lagi ke arah bukit Holbung. Dalam hayalanku bukit Holbung palingan mirip- mirip sama bukit Teletubis yang ada di Jawa. Hemmm kalau aku mau di bilang lebay ya gak papa mungkin memang lebay, tapi bukit Holbung sungguh di luar dugaanku. Bukit Holbung gak bikin menyesal meskipun sudah di bela- belain putar arah ketika kebablasan. Gimana ya ceritainnya aku pun bingung tak mampu berkata- kata lagi untuk mendeskripsikannya. Lebay ya? hahaha iya gak papa lebay. Di bukit Holbung sayangnya tak bias berlama- lama karena aku harus sampai di bandara Kualanamu jam 16:00. Trus ngapain aja di bukit Holbung yang cuma sebentar? ya apalagi kalau bukan ambil foto dan sejenak menikkmati dengan mata sambil kulit merasakan dinginnya hembusan angin yang sungguh kencang.
Sunrise Depan Hotel Tuk Tuk
Tepian Danau Toba
Pinggir jalur ke Tele
Bukit Holbung
Bukit Holbung
Eka Di Bukit Holbung
Dari bukit Holbung trus kemana lagi? ya sudah jelas tau kan ya bahwa bukit holbung destinasi terakhir kita, ya kan… Karena takut ketinggalan pesawat pulang ke Jawa riding dari Holbung ke Medan aku gas lebih kencang dari sebelum- sebelumnya. Rutenya tau gak? nah akku aja baru tau pas udah melewatinya. Jadi dari Holbung lewat jalur menara pandang Tele terus saja ikutin jalan sampai pertigaan yang ke kanan adalah arah jalan raya Sidikalang- Kabanjahe. Jadi kalau di bikin rute Dairi- Kabanjahe- Berastagi- Medan- Kualanamu. Dan tidak sia- sia hasil ngebut dari Dairi ke Medan, Dairi- Kabanjahe mampu di tempuh selama 1.5 jam perjalanan. Jalur di tengah hutan dataran tinggi yang dingin sedang berkabut dan gerimis pula. Dari Kabanjahe arah berastagi jalur sudah berganti dengan jalur cukup padat penduduk dengan waktu tempuh cuma 30 menit. Nah kalau pas berangkat waktu Tempuh Medan Berastagi 2 jam maka arah sebaliknya Berastagi – Medan cuma di libas 1jam lebih sedikit. Akhirnya sudah lega, ya lega semuanya termasuk lega sampai Medan masih jam 15:30 dan langsung saja naik ke Damri yang kemudian berangkat jam 16:00 menuju bandara Kualanamu.
Karena kamu request cerita tentang perjalanan kita kemaren di Sumatera Utara segera di tulis maka baiklah aku duluin aja dari cerita perjalanan lainnya. Mulai dari mana ya? dari kenapa bisa di bilang tiba- tiba aku kabur ke Medan. Sesungguhnya list ke area Sumatera adalah paling belakangan setelah aku selesai dengan misi Timur. Sudah sekitar 3 bulanan aku menjalin komunikasi lagi denganmu. Kamu itu cantik tapi judes juga dan ketika memandang sorot matamu tak pernah bisa teduh. Sebenernya dulu sudah kenal namun hanya sekedar antara Asisten dan Praktikan di Laboratorium sebuah kampus. Setelah aku lulus pun semakin tak pernah ada komunikasi dan karena bisa di bilang aku segan samamu maka tak pernah berani untuk menyapa atau sekedar berkata “hai”. Entah ada pikiran darimana tiba- tiba datang sebuah tekad bulat untuk pergi ke Sumatera Utara. Akhirnya dapat waktu setelah hari raya Iedul Fitri tanpa pikir panjang setelah gajian aku pesan tiket pesawat jurusan Surabaya- Kualanamu Medan. Apakah ijin dari kantor bakal di approve atau tidak pun aku nekad saja. Dengan mantap hati nekat lah ijin ke Pak Bos ” pak kulo tanggal 29-30 ijin nggeh pak ?”, di sahutnya ” di atur sajalah yang penting jangan sampe lost komunikasi sama team “. Alhamdulillah ijin sudah approve, eh lakok seminggu sebelum berangkat malah ada undangan meeting ke Banyyuwangi. Entahlah pikiran sudah mulai amburadul namun tetap terus menenangkan diri ” woles thur kalem semua tetap berjalan lancar”. Rabu siang aku dan Pak Nur partner terbaikku menghadiri meeting salah satu operator terbesar di Indonesia. Rabu sore pun kami tak langsung balik Tuban karena sudah terlanjur jauh kenapa tidak mampir? baiklah akhirnya kami mampir ke kawah Ijen, kawah Wurung dan Bromo. Akhir trip bablasan meeting adalah Bromo yaitu hari Jumat siang.
Nah Ini Pak Nur
Tiba di bandara Juanda Surabaya setelah menempuh perjalanan dari Probolinggo selama 3 jam disambut oleh senja. Sambil ngopi sebentar Pak Nur dan Budi menemani sambil ngaso sebelum mereka berdua balik Tuban dan aku lanjut ke Medan. Malam semakin larut perut lapar badan pun letih. Setelah kenyang mengisi perut dengan makanan cepat saji aku segera mencari tempat untuk tidur karena esok paginya jam 04:00 sudah harus cek in. Alhamdulilah cek in lancar (soalnya sempat ada masalah si singa terbang berulah lagi) trus ke ruang tunggu sekalian nunggu masuk waktu subuh. Jam 05:30 kami para penumpang sudah di suruh memasuki pesawat dan tanpa delay pesawat di terbangkan jam 06:xx.
Sunrise Bandara Juanda
Penerbangan Surabaya- Medan lancar di tempuh selama 3 jam. Dari atas pesawat terlihat perbukitan dan berganti dengan sebuah danau besar terdapat sebuah pulau di tengahnya. Danau Toba dan pulau Samosir, ya tandanya penerbangan kami sudah dekat dengan bandara Kualanamu Medan. Tiba di bandara jam 09:00 sesuai saran kamu untuk naik Damri jurusan carefour Medan. Hemmm semakin gak menentu gelisah campur entahlah apa naamanya bis nya pun merayap pelan- pelan yang kemudian di tambah macet ketika sudah masuk kota Medan. Aku gak yakin bisa woles dan suasana mencair santai. Akhirnya ketemu juga denganmu setelah 6 tahun lamanya tak pernah jumpa. Dengan kerudung dan baju berwarna pink wajah di usap bedak tipis dan bibir kamu warnai pink namun sorot matamu tak berubah. Awal pertemuan kamu buka dengan sapaan ” hai kak” aku cuma bisa membalas dengan senyum, karena ya memang terasa kaku dan aku pun orangnya pemalu. Sambil berjalan ke parkiran kereta aku dan kamu mulai bisa ngobrol santai suasana pun mulai mencair kayak eskrim yang kelamaan gak di makan, eh enggak bercanda dink.
” Eka jadi kita kemana saja hari ini? ”
” kakak gak lapar? mending kakak makan dulu aja ” sahut mu
Siang itu Medan benar- benar sangat panas sampai- sampai baju ku basah kuyup oleh keringat. Mampir sebentar di Pom bensin karena pikirku jam 12:00 sudah masuk waktu shalatt dzuhur, Medan waktu dzuhur nya jam 12:30 an bung. Akhirnya setelah numpang ke toilet pom bensin aku dan kamu lanjut menuju Berastagi destinasi pertama. Memang agak konyol karena aku dan kamu sama- sama tidak tau arah, yasudah ngikutin plang petunjuk arah dan feeling saja lah ya. Medan Berastagi dapat ditempuh selama 2 jam perjalanan dengan model riding santai. Ketika sebelum masuk Berastagi kami melalui jalanan menanjak bekelok yang lebih mirip dengan jalur sitinjau lauik nya Sumatera Barat. Jalan meliuk- liuk menanjak memaksa mesin motor kamu terus melaju pelan. Dan saat sedang berjalan perlan di ikuti seorang polisi yang semakin membuatku cemas dan curiga. Di sebuah jalan lurus cukup untuk menghentikan aku dan kamu, ” Hei coba minggir dulu “, kata Pak Polisi. Setelah di cek ternyata karena plat nomor motor kamu belum di ganti padahal sudah expired masa berlakunya. Setelah di berikan penjelasan kenapa plat nomor motor belum di ganti akhirnya aku dan kamu di kasih lanjut jalan lagi oleh pak polisi. Jalanan datar beganti menanjak, Macet berganti lenggang, Panas berganti sejuk ternyata memang sudah masuk kawasan Berastagi. Destinasi pertama adalah taman Lumbini, sebuah taman yang dibangun untuk beribadah umat pemeluk agama Budha. Vihara terbesar di Indonesia sekaligus Asia Tenggara. Bangunan Vihara dengan dominan warna Emas dan warna bangunan sekitarnya abu- abu karena di hujani oleh abu vulkanik gunung Sinabung. Tak lama aku dan kamu jalan- jalan di taman Lumbini sekedar mengambil foto kemudian lanjut lagi ke destinasi berikutnya.
Taman Lumbini
Konon katanya puncak bukit Gundaling menjadi primadona wisata di Berastagi. Terlihat cukup jelas menjulang tinggi nan gagah gunung Sinabung dari puncak Gundaling. Sore itu tak terlalu ramai pengunjung yang menikmati sejuknya bukit Gundaling. Sebagian besar memang sengaja datang untuk bisa berfoto bersama gunung Sinabung, termasuk aku dan kamu. Sambil istirahat menunggu datangnya senja aku dan kamu duduk di bawah tenda milik ibu penjual minuman yang rupanya berasal dari banyumas. Sewaktu mesan minum aku kaget kok si Ibu menyahut dengan bahasa jawa, oh rupanya Ibu orang Banyumas. Ngobrol santai membahas tentang budaya Batak sambil menikmati deretan awan bergulung yang mulai berubah menjadi mendung. Senja mulai memberi harapan akan datangnya sunset yang menggelora. Terik matahari semakin redup berbarengan dengan datangnya hembusan angin yang semakin kencang. Waktu menunjukkan jam 17:50 namun langit justru semakin menghitam awan yang tadinya berderet bergulung cantik pun berubah menjadi mendung kelabu. Ternyata sungguh benar sunset tak jadi hadir menyambut kedatanganku jauh jauh dari pulau Jawa. Karena esok hari masih harus mendaki puncak Gunung Sibayak aku dan kamu harus segera istirahat agar tidak kesiangan bangun.
Berastagi di hujani Abu Vulkanik
Gunung Sinabung Dari Puncak Gundaling
Gunung Sibayak dengan ketinggian 2.212 mdpl letaknya berdekatan dengan gunung Sinabung yang sedang erupsi. Meskipun tidak terlalu tinggi saat malam hingga pagi udara pun sangat dingin. Waktu sudah menunjukkan pukul 03:00 ini saatnya aku dan kamu bersiap mendaki untuk melihat sunrise. Jam 04:00 aku dan kamu yang kemudian aku ganti “kita” agar lebih enak nulis dan di bacanya sudah berangkat menuju Gunung Sibayak. Tak lama dari pusat kota Berastagi kira- kira 30 menit dengan kereta kita sudah tiba di parkiran gunung Sibayak. Sebelum mendaki jangan lupa ada membayar retribusi Rp 3000 dan biaya masuk Rp 10.000.
Pendakian di mulai, dengan ketinggian 2.212 mdpl tipikal jalur sedikit terus menanjak waktu tempuh pun sangat singkat. Dari parkiran hingga puncak 1 tidak sampai 1 jam sudah sampai ( sepertinya ada 4 puncak ). Kita memang tidak camping karena hanya ingin melihat sunrise dan gunung Sinabung dari puncak Sibayak. Lapisan mendung pagi itu sepertinya sangat tebal waktu sudah menunjukkan jam 05:30 pun semburat merah kurang terlihat terang. Memang betul sunrise tidak pecah dengan sempurna namun keindahan pemandangan yang di berikan oleh Sibayak tetaplah mempesona. Aku tau matahari malu untuk tersenyum kepadaku karena sudah ada yang tersenyum sungguh manis menggantikannya. Melihatmu ceria bahagia menikmat keindahan Sibayak rasanya sungguh luar biasa. Emmm nanti cerita agak panjang tentang pendakian Sibayak aku tulis saja sendiri, jadi sering sering mantau Blog aku ini.
Parkir Kereta
Puncak Sibayak
Puncak Sibayak
Destinasi lain masih banyak yang menanti, setelah turun dari Sibayak kita lanjut menuju air terjun Spiso- piso. Berastagi- Kabanjahe- Tongging, kalau dari Berastagi sampai e Spiso- piso cuma memerlukan waktu selama 60 menit riding di kecepatan 60-70 kpj. Selepas Kabanjahe memasuki Tongging banyak kebun buah jeruk yang menawarkan wisata petik sendiri. Hemmm masyarakat mulai kreatif dalam menjual hasil perkebunan mereka, mulai dari strowbery petik sendiri, Apel petik sendiri, jeruk petik sendiri dan mungkin di susul buah yang lainnya. Riding di dataran tinggi itu enaknya tak begitu terasa panas, ya karena angin yang berhembus dingin meskipun terik matahari sangat panas. Udara sejuk serta pemandangan hijau bagaikan permadani menemani sepanjang jalur Berastagi – Tongging. Sebelum tiba di pintu masuk loket wisata air terjun Spiso- piso kita di sambut pemandangan mempesona danau Toba dari atas bukit. Lipatan perbukitan gundul terhampar diatas perairan jadi mengingatkanku akan keindahan Labuhan Bajo NTT. Karena memang bagus pemandangan kita pun berhenti sebentar berfoto- foto. Turun sedikit dari tempat kita istirahat sudah berdiri bangunan loket masuk wisata air terjun Spiso- piso. Ohhh anak tangga turun untuk melihat air terjun dari dekat sungguh panjang mengular. Santai sambil menikmati pemandangan sekitar air terjun kita turun menuju bawah air terjun. Tak jauh kita berjalan sambil istirahat aku merekam timelapse air terjun tak disangka seorang kawan kuliah sewaktu D3 di kampus putih biru menyapa ku. ” Oi fathur… sama siapa kesini??? “, rupanya Fajar Sidiq teman sekampus. Sebentar Fajar bercerita kalau sebaiknya aku ambil rute Simarjarunjung- Tigarasa- Samosir dan kembali ke Medan soalnya sayang jauh- jauh ke Sumatera Utara kalau gak sekalian ke Samosir. Akhirnya sebelum Fajar pulang dan aku melanjutkan turun ke air terjun kami berfoto sebagai kenang- kenangan. Baiklah lanjut lagi turun ke air terjun sama kamu, dan rupanya baru sepertiga pejalanan. Pelan sambil menikmati dan berfoto agar tidak terasa capeknya. Dan sesampainya di bawah air terjun pun kami tak mendekat karena bias air sungguh besar sudah pasti basah jika terlalu dekat. Setidaknya sudah cukup berfoto secekrek dua cekrek kami kemudian kembali naik ke atas. Turun ke bawah air terjun kemudian naik lagi kukira 1.5 jam sudah cukup.
Sebelum Loket
Spiso- piso dari atas
Spiso- piso
Capek ya dari air terjun Spiso- piso? iya memang capek cukup jauh rupanya tangga turun dan naik. Padahal masih ada Simarjarunjung dan Samosir, Okelah waktu masih menunjukkan jam 13:00 kami segera cepat- cepat menuju bukit indah Simarjarunjung. Bukit indah Simarjarunjung salah satu konsep wisata baru yang sedang terkenal di Sumatera Utara. Dengan wahana- wahana foto seperti Kalibiru Kulonprogo yang sudah lama duluan mengaplikasikan. Dengan background danau Toba dan pulau Samosir bukit indah pun tak kalah keren dan fenomenal. Bagus gak sih Simarjarunjung? menurutku bagus karena memang pemandangannya bagus banget. Tapi kalau aku di suruh foto di wahana sih gak juga gak papa. Wahana foto di Simarjarunjung ada banyak sampai aku gak sempat hitung. Bagi yang sedang suka konsep foto kekinian cocok banget datang ke Simarjarunjung. Jadi pas di sana Eka minta difoto di ayunan ekstrim. Ayunan itu di ayun ke arah danau Toba dan kemudian cekrek- cekrek beberapa foto diambil, hemmm hasilnya memang bagus seolah Eka sedang berayun di atas danau Toba. Trus setelah itu? ya setelah itu kami lanjut lagi menyebrang ke pulau Samosir. Dan tanpa sengaja kami justru mengikuti saran Fajar bahwa mendingan nyebrang ke Samosir lewat Tigarasa.
Bukit Indah Simarjarunjung
Wahana Ayunan Ekstrim
Yang sudah pernah nyebrang ke kepulauan seribu pasti tau model perahunya seperti apa, nah kalau di danau Toba ini perahunya berbeda. Jika di lihat sepintas justru bentuknya menyerupai Elf atau Bus mikro. Di bagian depan tertulis ” Laut Tawar ” dan karena bentuknya seperti Bis aku sebut saja ” Bis Laut tawar “. Sambil menyebrangi danau Toba senja berganti malam, kupikir karena hanya danau ombaknya pun tidak besar. Rupanya kondisi bercerita lain ketika sampai di tengah- tengah ombak terasa begitu mengombang- ambingkan Bis laut tawar kami. Tiba di Simanindo Samosir hari telah gelap langsung saja kita menuju Tuk- Tuk Ambarita untuk menginap semalam. Tuk- tuk ini kalau di bali semacam kawasan Kuta Seminyak nya. Pusat Keramaian Samosir bisa di bilang di Tuk- tuk ini dan Tomok. Karena alasan waktu kita gak sempat mampir ke Tomok, esok paginya pun langsung tancap gas menuju bukit Holbung.
Simanindo
Bukit Holbung, ketika melihat di Map jaraknya tak terlalu jauh dari Tuk-tuk. Estimasi sesuai google map menunjukkan 2 jam lebih sedikit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Pagi hari jalanan lengang serta masih jauh dari gaduh kendaraan. Udara dingin membangunkan ku dari kantuk berat. Semburat merah matahari pagi memberikan sedikit penerangan perjalanan kita menuju bukit Holbung. Jalanan sepi kemudian mulai berganti ramai anak Sekolah Dasar berjalan kaki menuju sekolah mereka. Dan lima menit kemudian sudah semakin ramai angkotan samosir mengangkut anak anak Sekolah Menengah Pertama dan Atas menuju sekolah masing- masing. Menyusuri jalanan di tepi danau Toba dan sudah 2 jam lamanya kita berkendara namun baru tiba di jembatan penyebrangan Samosir dengan Sumatera. Ada yang pernah ke Sumba? nah ketika memasuki jalur darat Samosir – Sumatera aku serasa di ingatan oleh Sumba pulau Seribu Bukit. Di Sumba kan kalau pas mau ke Wairinding melewati diantara lipatan ribuan bukit, nah di Samosir ini juga mirip bahkan khas bukit gundul di tumbuhi rumput tipis yang mulai mengering berwarna coklat ke orange pun sama. Selama perjalanan mata ku terus di manjakan oleh pemandangan yang Ahhh sudahlah aku bingung mau menjelaskannya. Pokoknya suka banget sama Samosir dan sekitarnya, bahkan orangnya pun juga ramah- ramah. Saking terpesonanya oleh keindahan alam di jalur ini kita sampai nyasar kebablasan dan terpaksa putar balik lagi ke arah bukit Holbung. Dalam hayalanku bukit Holbung palingan mirip- mirip sama bukit Teletubis yang ada di Jawa. Hemmm kalau aku mau di bilang lebay ya gak papa mungkin memang lebay, tapi bukit Holbung sungguh di luar dugaanku. Bukit Holbung gak bikin menyesal meskipun sudah di bela- belain putar arah ketika kebablasan. Gimana ya ceritainnya aku pun bingung tak mampu berkata- kata lagi untuk mendeskripsikannya. Lebay ya? hahaha iya gak papa lebay. Di bukit Holbung sayangnya tak bias berlama- lama karena aku harus sampai di bandara Kualanamu jam 16:00. Trus ngapain aja di bukit Holbung yang cuma sebentar? ya apalagi kalau bukan ambil foto dan sejenak menikkmati dengan mata sambil kulit merasakan dinginnya hembusan angin yang sungguh kencang.
Sunrise Depan Hotel Tuk Tuk
Tepian Danau Toba
Pinggir jalur ke Tele
Bukit Holbung
Bukit Holbung
Eka Di Bukit Holbung
Dari bukit Holbung trus kemana lagi? ya sudah jelas tau kan ya bahwa bukit holbung destinasi terakhir kita, ya kan… Karena takut ketinggalan pesawat pulang ke Jawa riding dari Holbung ke Medan aku gas lebih kencang dari sebelum- sebelumnya. Rutenya tau gak? nah akku aja baru tau pas udah melewatinya. Jadi dari Holbung lewat jalur menara pandang Tele terus saja ikutin jalan sampai pertigaan yang ke kanan adalah arah jalan raya Sidikalang- Kabanjahe. Jadi kalau di bikin rute Dairi- Kabanjahe- Berastagi- Medan- Kualanamu. Dan tidak sia- sia hasil ngebut dari Dairi ke Medan, Dairi- Kabanjahe mampu di tempuh selama 1.5 jam perjalanan. Jalur di tengah hutan dataran tinggi yang dingin sedang berkabut dan gerimis pula. Dari Kabanjahe arah berastagi jalur sudah berganti dengan jalur cukup padat penduduk dengan waktu tempuh cuma 30 menit. Nah kalau pas berangkat waktu Tempuh Medan Berastagi 2 jam maka arah sebaliknya Berastagi – Medan cuma di libas 1jam lebih sedikit. Akhirnya sudah lega, ya lega semuanya termasuk lega sampai Medan masih jam 15:30 dan langsung saja naik ke Damri yang kemudian berangkat jam 16:00 menuju bandara Kualanamu.